Teori
belajar behavioristik (Behaviorism Theory) adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan
Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Jika ditinjau dari konsep atau
teori, teori behavioristik ini tentu berbeda dengan teori yang lain.
Behavioristik merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini
dalam belajar yang penting adalah input yang
berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja
yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Adapun
akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons, siswa mempunyai pengalaman
baru, yang menyebabkan mereka mengadakan tingkah laku dengan cara baru.
Teori ini memandang bahwa belajar
merupakan mengubah tingkah laku siswa dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti
menjadi mengerti, sedangkan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan
lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan. Faktor lain
yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement).
Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin
kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement)
maka respon juga semakin kuat.
Aplikasi teori
behavioristik terhadap pembelajaran siswa
·
Mementingkan faktor lingkungan
·
Menekankan pada faktor bagian
(elemenastik)
·
Mengutamakan peranan reaksi
·
Mengutamakan mekanisme terbentuk hasil
belajar melalui prosedur stimulus respon
·
Mementingkan peranan kemampuan yang
sudah terbentuk sebelumnya.
·
Mementingkan pembentukan kebiasan melalui
latihan dan pengulangan
·
Hasil belajar yang dicapai adalah
munculnya perilaku yang diinginkan
Teori
belajar sosial kognitif oleh Bandura (1986) mengembangkan
dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang mengusulkan bahwa orang-orang
tidak didorong oleh kekiuatan batin atau secara otomatis dibentuk dan
dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Sebaliknya, fungsi manusia dijelaskan
dalam hal model determinisme timbal balik triadic. Dalam teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal
balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan semua
beroperasi sebagai penentu berinteraksi satu sama lain. Timbal balik merujuk
pada aksi saling sementara determinisme menandakan produksi efek. Karena
banyaknya berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda
dapat menyebabkan atau membantu efek yang berbeda. Orang belajar melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari
perilaku tersebut. “Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional
melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi
sebagai panduan untuk bertindak.
Faktor-faktor yang berproses dalam
dalam belajar observasi:
- Atensi (perhatian) – mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat
- Retensi (ingatan) – mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pkiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik.
- Reproduksi – mencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, kekuatan umpan balik.
- Motivasi – mencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Bandura
percaya pada “determinisme timbal balik”, yaitu lingkungan memang
membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan, sedangkan behaviorisme
dasarnya menyatakan bahwa lingkungan seseorang menyebabkan perilaku seseorang. Teori
belajar sosial kadang-kadang disebut jembatan antara behavioris dan teori
pembelajaran kognitif karena meliputi perhatian, memori, dan motivasi. Teori
ini terkait dengan Social Development Theory and Lave’s Vygotsky dimana ketika belajar juga menekankan pentingnya
pembelajaran sosial
Teori
pengolahan informasi mengandung pengertian tentang bagaimana
seorang individu mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah besar
informasi yang diterima individu dari lingkungan. Menurut Gagne belajar dipandang sebagai
proses pengolahan informasi, Gagne adalah seorang psikolog pendidikan terkenal
dengan penemuannya berupa condition of
learning. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk
hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara
kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi
internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil
belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi
eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam
proses pembelajaran. Teori informasi memberikan persfektif baru pada pengolahan
pembelajaran yang akan menghasilkan belajar yang efektif.
Menurut Gagne tahapan
proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu,
(1) motivasi;
(2) pemahaman;
(3) pemerolehan;
(4) penyimpanan;
(5) ingatan kembali;
(6) generalisasi;
(7) perlakuan;
(8) umpan balik.
Belajar dimulai dari
hasil yang paling sederhana( belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih
kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi dan belajar
konsep) sampai pada tipe belajar lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan
masalah). Dalam teori pengolahan informasi terdapat persepsi, pengkodean, dan
penyimpanan di dalam memori jangka panjang. Teori ini mengajarkan kepada siswa
untuk memecahkan masalah. Beberapa model telah dikembangkan di antaranya oleh
Gagne (1984), Gage dan Berliner (1988) serta Lefrancois, yang terdiri atas tiga
macam ingatan yaitu: sensory memory atau Ingatan Inderawi (II), Ingatan Jangka
Pendek (IJPd) atau short-term/working memory, Ingatan Jangka Panjang (IJPj)
atau long-term memory.
Teori Pembelajaran Bermakna, Belajar menurut Ausubel
merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep
yang telah ada dalam struktur kognitif. Artinya, konstruksi pengetahuan dimulai
dengan pengamatan dan pengakuan peristiwa dan objek melalui konsep-konsep yang
sudah kita miliki. Ausubel juga menekankan pentingnya penerimaan bukan belajar
penemuan, dan bermakna dari pada hafalan. Ausubel percaya bahwa pemahaman
konsep, prinsip, dan ide-ide yang dicapai melalui penalaran deduktif. Ausubel
dipengaruhi oleh ajaran Jean Piaget. Mirip dengan ide-ide Piaget skema
konseptual, Ausubel terkait ini untuk penjelasannya tentang bagaimana orang
memperoleh pengetahuan. Teori Ausubel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara
bermakna dari suatu sajian berbentuk verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan
dalam konteks percobaan-percobaan yang
dilaksanakan di laboratorium).
Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2
(dua) dimensi. Dimensi
pertama, berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran tersebut disajikan kepada
siswa melalui penerimaan atau penemuan.
Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa
dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitifnya
(berupa fakta-fakta,
konsep-konsep, dan generalisasi-generalisasi
yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua
dimensi tersebut, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana,
melainkan merupakan
suatu
kontinuum.
Inti dari teori
Ausubel
tentang belajar
adalah belajar bermakna. Menurut Ausebel,
belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar
dapat mengaitkan informasi yang baru
diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer) relevan yang terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru tadi tanpa menghubungkan dengan konsep- konsep yang
telah ada dalam struktur kognitifnya tersebut, kondisi
ini dikatakan sebagai belajar hafalan. Seperti kita tahu bahwa
informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Dengan
berlangsungnya belajar
akan dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak terutama sel-sel yang
telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang
dipelajari. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer- subsumer relevan yang yang telah ada dalam struktur kognitif. Proses interaktif antara
informasi yang baru
dipelajari dengan subsumer-subsumer yang telah ada tersebut dikenal sebagai proses subsumsi. Belajar
bermakna yang baru
mengakibatkan pertumbuhan dan
modifikasi sub sumer-subsumer yang telah ada tersebut.
Informasi yang
dipelajari secara bermakna, biasanya
lebih
lama
diingat
daripada informasi yang dipelajari secara hafalan.
Tetapi, ada kalanya unsur-unsur yang telah
tersubsumsi tidak dapat dikeluarkan lagi dari
memori (lupa), hal
ini
terjadi karena
beberapa bagian subsumer berintegrasi dengan yang lain sehingga mereka kehilangan
identitas individunya. Dapat juga, karena
subsumer tersebut telah kembali pada keadaan sebelum terjadi subsumsi.
Kondisi seperti
ini
menurut Ausebel disebut subsumsi obliteratif
(subsumsi yang telah rusak).
Teori Ausubel di atas, nampaknya memiliki kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan
teori Gestalt dan keduanya melibatkan suatu
skema sebagai suatu prinsip yang sentral. Juga teori Ausebel ini memiliki kesamaan dengan ”model
belajar spiral yang dikemukakan oleh Bruner.
Selanjutnya, walupun Ausebel menekankan bahwa subsumsi
melibatkan reorganisasi dari
struktur
kognitif yang
ada tapi tidak mengembangkan struktur yang
baru seperti yang disarankan para ahli konstruktivisme. Ausubel kelihatan dipengaruhi juga oleh hasil kerja dari
Piaget untuk perkembangan
kognitif. Walaupun Ausebel sangat menekankan agar para guru diharapkan mengetahui konsep- konsep yang
telah dimiliki para siswanya agar belajar bermakna dapat berlangsung, tetapi
Ausebel belum
dapat
menyediakan
alat untuk mengukur hal tersebut.
Pendekatan Perkembangan Kognitif. Pendekatan ini di dasarkan pada asumsi atau keyakinan
bahwa kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang
fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Kunci untuk memahami tingkah laku anak terletak pada
pemahaman bagaimana
pengetahuan
tersebut terstruktur
dalam
berbagai aspeknya. Piaget berpendapat bahwa perkembangan manusia dapat di gambarkan dalam konsep fungsi dan struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang
sama bagi setiap orang atau kecendrungan-kecendrungan biologis untuk mengorganisasi pengetahuan kedalam struktur kognisi, dan
untuk beradaptasi
kepada
berbagai tantangan lingkungan. Tujuan dari fugsi-fungsi itu
adalah menyusun struktur kognitif internal.
Sementara struktur
merupakan intereasi
(saling berkaitan) system pengetahuan
yang
mendasari
dan membimbing tingkah
laku inteligen.
Struktur kognitif diistilahkan dengan konsep skema, yakitu
seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang
denganya anak memahami lingkungan. Piaget mengajarkan bahwa perkembangan
kognitif merupakan hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf, serta
adaptasi dengan lingkungan. Ia menggunakan lima istilah untuk menggambarkan
dinamika perkembangan kognitif.
1.
Skema menunjukkan struktur mental, pola pikir yang orang untuk mengatasi
situasi tertentu di lingkungan.
2.
Adaptasi merupakan proses penyesuaian pemikiran dengan memasukkan informasi baru
ke dalam pemikiran individu.
3.
Asimilasi berarti memperoleh informasi baru dan memasukkan kedalam skema sekarang
dalam respon terhadap stimulus lingkungan baru.
4.
Akomodasi merupakan penyesuaian pada informasi baru dengan menciptakan skema yang
baru ketika skema lama tidak berhasil.
5.
Equilibration didefinisikan sebagai kompetensi untuk
gangguan eksternal. Perkembangan intelektual menjadi kemajuan yang terus
bergerak secara berkesinambungan yang lebih tinggi.
Tabel 1
Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
PERIODE
|
USIA
|
DESKRIPSI PERKEMBANGAN
|
1. Sensorimotor
|
0-2 tahun
|
Pemgetahuan anak
diperoeh melalui interaksi
fisik, baik dengan orang
atau objek. Skema- skema baru
berbentuk reflek-reflek sederhana,
seperti: menggenggam atau menghisap.
|
2. Praoperasional
|
2-7 tahun
|
Anak mulai menggunakan symbol-simbol untuk
merepresentasdunia (lingkungan) secara
kognitif. Symbol-simbol itu
seperti: kata-kata dan bilangan
yang dapat
menggantikan objek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang
tampak).
|
3. Operasi konkret
|
7-11 tahun
|
Anak sudah
dapat membentuk
operasi-operasi
mental atas pengetahuan yang
mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi dan mengubah. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
|
4. Operasi Formal
|
11 tahun
sampai dewasa
|
Periode ini
merupakan operasi
mental
tingkat
tinggi. Disini anak
(remaja) sudah dapat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa
hipotesis atau abstrak, todak hanya
dengan objek- objek konkrit.
Remaja sudah
dapat
berfikir
abstrak dan
memecahkan
maslaah melaui pengujian semua alternative yang ada.
|
Teori Pembentukan Sosial Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan,
perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan
masyarakat. Penekanan pada pembelajaran perkembangan ini adalah kolaborasi,
yang mengarah ke zona Vygotsky perkembangan proksimal (ZPD). Vygotsky memandang
ZPD sebagai kesenjangan antara mana pelajar saat ini tinggal dan potensi
peserta didik untuk pembangunan. Definisi terkenal Vygotsky zona pembangunan proksimal
menyatakan bahwa ZPD adalah "jarak antara tingkat perkembangan aktual
seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat
perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si
anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar
seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun,
anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan,
berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini
dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan alat-alat itu berasal dari budaya.
Menurut vygotsky
(1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui
interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat,
keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif
dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian
pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar
belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Meskipun
pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui
pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang
jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan
pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Vygotsky mencari
pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana
fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan.
Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada
anak. Actual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu
tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development
membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di
bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
1. Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan
Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit
dikuasai anak seorang diri tetapi dapat diipelajari dengan bantuan dan
bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. Batas bawah dari ZPD
adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri. Batas
atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak
dengan bantuan seorang instruktur. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD
pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak.
2. Konsep Scaffolding
Scaffolding diartikan
sebagai kerangka pengetahuan yang disiapkan saat masa kematangan tiba. Scaffolding
adalah istilah terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk
mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang
lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak. Dialog adalah
alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi
tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat
dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis dan rasional.
3. Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky,
anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi juga
untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa anak
pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan, membimbing, dan memonitor
perilaku mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya
berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk
berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam
pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal
dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat
transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi internal.
Pada dasarnya teori-teori Vygotsky didasarkan pada tiga ide utama: (1)
bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan
sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui; (2)
bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual; (3)
peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator
pembelajaran siswa.
Belajar Penemuan (Discovey
Learning) Salah satu model intruksional
kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal
dengan nama belajar penemuan. Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget
yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif saat belajar di kelas. Konsepnya
adalah belajar dengan menemukan discovery learning. Bruner menganggap
bahwa belajar penemuan sesuai dengan
pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan sendirinya memberikan
hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta
pengetahuan yang benar- benar bermakna.
Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara
aktif dengan konsep dan prisnsip- prinsip agar memperoleh pengalaman dan
melakukan eksperimen yang mengiinkan mereka untuk menemukan prinsip- prinsip
itu sendiri. Pembelajaran penemuan terjadi dalam memecahkan situasi masalah di
mana pelajar mengacu pada pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan
merupakan metode pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya
dengan mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan
kontroversi atau melakukan percobaan.
Dalam implikasinya pada proses pembelajaran,
Siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat
kemajuan berpikir anak Siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri.
Siswa belajar melalui aktif dengan kosep- konsep dan prinsip- prinsip.Menurut
teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa
untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya)
melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa
dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Lawan dari
pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan).
Dalam hal ini siswa diberi informasi umum untuk diminta menjelaskan informasi
tersebut melalui contoh- contoh khusus dan konkret.
Pengetahuan yang
diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan
beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama
diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara- cara
lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik
daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep- konsep dan prinsip-
prinsip yang dijadikan milik kognitif seorang lebih mudah diterapkan pada
situasi yang baru. Ketiga, secara menyeluruh
belajar penemuan meningktkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berpikir secara bebas. Secara khusus belajar
penemuan melatih ketrampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan
masalah masalah tanpa pertolongan orang lain. Belajar penemuan juga dapat
membangkitkan keingin tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai
menemukan jawaban- jawaban lagi, mengajarkan ketrampilan memecahkan masalah
tanpa pertolongan orang lain dan meminta para siswa untuk menganalisis dan
memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja. Pada dasarnya belajar
penemuan sarat akan makna, dengan belajar
penemuan mendorong siswa untuk aktif dan memberikan moivasi dalam belajar
sehingga melatih kemampuan kognitifnya untuk memecahkan suatu permasalahan.
Tahap Perkembangan Intelektual
dalam Proses Belajar
Menurut Bruner
seiring dengan pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus melalui tiga tahap
intelektual, meliputi Tahap Enaktif, Ikonik dan Simbolik
1. Enaktif, seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi- aksi
terhadap suatu objek. Dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan
ketrampilan dan pengetahuan motorik seperti meraba, memegang, mencengkram,
menyentuh, mengggit dan sebagainya. Anak- anak harus diberi kesempatan bermain
dengan berbagai bahan/alat pembelajaran
tertentu agar dapat memahami begaimana
bahan/alat itu bekerja.
2. Ikonik, pembelajaran terjadi melalui penggunaan model- model dan
visualisasi verbal. Anak- anak mencoba memahami dunia sekitarnya melalui
bentuk- bentuk perbandingan (komparasi) dan perumpamaan, dan tidak lagi memerlukan
manipulasi objek-objek pembelajaran secara langsung.
3. Simbolik, siswa sudah mampu menggabarkan kapasitas berpikir dalam
istilah- istilah yang abstrak. Dalam memahami dunia sekitarnya anak- anak
belajar melalui simbol- simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Huruf
dan lambing bilangan merupakan contoh sistem simbol. Fase simbolik merupakan
tahap final dalam pembelajaran.
Pendekatan Konstruktivisme adalah
pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna
dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan
yang baru apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan
dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai
pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Konstruktivisme menyatakan bahwa
pengetahuan akan tersusun dan terbangun dalam pikiran siswa sendiri ketika ia
berusaha mengorganisasikan pengalaman barunya berdasarkan pada kerangka
kognitif yang sudah ada pada pikirannya. Dengan demikian pengetahuan tidak
dapat dipindahkan degan begitu saja dari otak seseorang guru keotak siswanya.
Setiap sisiwa harus membangun pengetahuan didalam otaknya sediri-sendiri. Ketika
individu mengasimilasi, mereka menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang
sudah ada tanpa mengubah kerangka itu. Hal ini dapat terjadi ketika pengalaman
individu selaras dengan representasi internal mereka dari dunia, tetapi juga
dapat terjadi sebagai kegagalan untuk mengubah pemahaman yang salah; misalnya,
mereka mungkin tidak melihat kejadian, mungkin salah paham masukan dari orang
lain, atau dapat memutuskan bahwa acara adalah kebetulan dan karena itu penting
sebagai informasi tentang dunia. Sebaliknya, ketika pengalaman individu
bertentangan representasi internal mereka, mereka dapat mengubah persepsi
mereka tentang pengalaman agar sesuai representasi internal mereka.
Pendekatan konstruktivisme adalah
suatu pendekatan dalam proses dalam pembelajaran dimana siswa aktif dalam
mencari pengetahuannya. Pendekatan konstruktivisme secara radikal berbeda
dengan pendekatan tradisional dimana guru adalah seseorang yang selalu
mengikuti jawabanya. Didalam kelas kostruktivisme para siswa diberdayakan oleh
pengetahuannya yang berada pada diri mereka. Mereka berbagi strategi, dan
penyelesaiannya dengan debat antara satu dengan yang lainnya, berfikir secara
kritis tenteng cara terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah.
Beberapa
konsep umum pada pendekatan konstruktivisme, diataranya:
1.
Pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan
pengalaman yang sudah ada.
2.
Dalam satu
konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.
Bahan
pengajaran yang disediakan perlu mempunyai kaitan dengan pengalaman pelajar
untuk menarik minat pelajar.
4.
Pentingnya
membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling
mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran baru.
5.
Ketidak
seimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
6.
Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina
pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru
dengan pemahamannya yang sudah ada.
Dengan berdasarkan kepada paham
konstruktivisme-nya Piaget, Kamii (1989,1994) telah mendemonstrasikan bagaimana
siswa-siswa sekolah dasar dapat menemukan prosedur sendiri dalam memecahkan
soal-soal multidigit dalam bilangan cacah. Jadi dari penemuan ini berarti bahwa
ketika para siswa tidak diajari algoritma seperti membawa dan meminjam
pengetahuan mereka tentang bilangan dan nilai tempat jauh lebih unggul daripada
siswa yang diajari atoran algoritma tersebut.
Didalam kelas guru tidak mengajarkan
kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah
dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan
permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru tidak lansung membenarkan
atau menyalahkan jawaban siswa tersebut, tapi ia mendorong siswa untuk saling
bertukar pikiran atau ide sampai persetujuan tercapai.
Adapun
ciri-ciri pendekatan konstruktivisme diantaranya adalah:
a.
Dengan
adanya pendekatan konstruktivisme, pengembangan pengetahuan bagi peserta didik
dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui kegiatan penelitian atau
pengamatan lansung sehingga siswa dapat menyalurkan ide-ide baru sesuai denga
pengalaman dengan menemukan fakta yang sesuai dengan kajian teori.
b.
Antara
pengetahuan-pengetahuan yang ada, harus ada keterkaitan dengan pengalaman yang
ada pada diri siswa.
c.
Setiap siswa mempunyai peranan penting dalam
menentukan apa yang mereka pelajari.
d.
Peranan guru hanya sebagai pembimbing dengan
menyediakan materi atau konsep apa yang akan dipelajari serta memberikan
peluang kepada siswa untuk menalisis sesuai dengan materi yang dipelajari.
Pendekatan
Sosial, Pendekatan sosial emosional dalam
pembelajaran adalah suasana perasaan dan suasana sosial (
social-emostionalclimate approach ) di dalam kelas sebagai sekelompok individu
cenderung pada pandangan Psikologi Klinis dan konseling (penyuluhan). Menurut pendapat ini pendekatan sosial
emosional terciptanya iklim atau suasana pembelajaran yang harmonis dan
hubungan sosial yang positif. Suasana emosional dan hubungan sosial yang
positif artinya ada hubungan yang baik yang positif antara guru dengan anak
didik, atau antara anak didik dengan anak didik. Disini guru adalah kunci
terhadap pembentukan hubungan pribadi itu, dan perananya adalah menciptakan
hubungan pribadi yang sehat.
Iklim sosial
emosional yang baik adalah dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang
harmonis antara guru dengan guru, guru dengan siswa dan siswa dengan siswa,
merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar mengajar yang
efektif. Asumsi ini mengharuskan seorang guru berusaha menyusun program kelas
dan pelaksanaannya yang didasari oleh hubungan manusiawi yang diwarnai sikap
saling menghargai dan saling menghormati antar personal di kelas. Setiap
personal dibebri kesempatan masing-masing sehingga timbul suasana sosial
emosional yang menyenangkan pada setiap personal dalam melaksanakan tugasnya
masing-masing.
Iklim sosial
emosional yang baik tergantung pada guru dalam usahanya melaksanakan kegiatan
belajar mengajar, yang disadari dengan hubungan manusiawi yang efektif. Dari
asumsi ini berarti dalam pendekatan sosial emosionla seorang guru harus
berusaha mendorong siswa agar mampu dan bersedia mewujudkan hubungan manusiawi
yang penuh saling pengertian, hormat menghormati dan saling menghargai. Guru
harus mendorong menjadi pelaksana yang berisisiatif dan kraetif serta elalu
terbuka pada kritik. Disamping itu bertari juga guru harus mampu dan bersedia
mendengarkan pendapat, sasaran, gagasan dan lain-lain dari siswa sehingga
terjadi susana pembelajaran yang dinamis.
Pendekatan sistim
sosial emosional didasari atas asumsi
bahwa kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien mempersyaratkan hubungan
sosial – emosional yang baik antara guru-siswa, dan antara siswa-siswa. Asumsi
ini menghendaki agar guru dapat melaksanakan program kelas didasari atas
hubungan manusiawi yang diwarnai sikap saling harga menghargai dan saling
menghormati antar personal kelas.
Untuk menciptakan
hubungan baik dengan siswa, guru perlu menerapkan sikap-sikap yang efektif,
meliputi : (1) terbuka, (2) menerima dan
menghargai siswa, (3) empati, dan (4) demokratis. Orstetin dan Levin (1984: 86)
mengidentifikasi karakteristik guru yang efektif dalam pengelolaan kelas, yang
meliputi: mendorong dan memelihara minat siswa terhapat tujuan pembelajaran,
serta mempertahankan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan
keterampilan mengajar.
Jacobsen ( 1989: 37
) menjelaskan bahwa sikap guru yang demokratis dapat mengembangkan sikap
positif pada diri siswa, memiliki perasaan senang dan nyaman, serta mempunyai
pengalaman belajar yang lebih baik dibanding dengan guru yang berikap keras
atau tidak acuh.
Berdasarkan uraian
diatas, maka sikap yang ditampilkan dalam menumbuhkan kemauan dan kemampuan
bertanya siswa adalah : (1) sikap terbuka, (2) menerima dan menghargai siswa, (3).
Empati, dan (4) demokrasi.
Pendekatan iklim
sosial – emosisonal merupakan pendekatan yang ditawarkan dalam menumbuhkan
kemauan dan kemampuan bertanya siswa.
Pendekata ini dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa
mengajukan pertanyaan tertulis, kesempatan membacakan pertanyaan yang diajukan,
kompetisi kelompok, melatih mengajukan pertanyaan tingkat rendah/ tinggi, yang
didukung oleh suasana kelas yang aman, saling menghargai, dan hormat
menghormati antara personal kelas. Untuk menciptalan susana pembelajaran yang
dapat memungkinkan siswa merasa aman dalam belajar yaitu dengan cara
menciptakan iklim kelas yang tepat melalui pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas
merupkan salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru.
Sumber
:
Rita Eka Izzaty, dkk. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Yogyakata: UNY Press
Sugiharono, dkk. 2007. Psikologi pendidikan. Yogyakarta. UNY
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar