Rabu, 15 April 2015

Memahami Learning Trajectory melalui Teori Pembelajaran

Berikut ini merupakan salah satu tugas yang diberikan oleh prof. Marsigit yang berkaitan dengan perkuliaahan learning trajectory. Tugas yang diberikan meliputi Mereview berbagai macam Teori Belajar yaiu:  Behaviorism Theory, Social Cognitive Theory, Cognitive Information Processing, Meaningful Learning Theory, Developmental Approach, Social Formation Theory, Representation and Discovery learning, Constructivist Approach, Social Approach, dan Technological Approach

Teori belajar behavioristik (Behaviorism Theory) adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gagne dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari  pengalaman. Jika ditinjau dari konsep atau teori, teori behavioristik ini tentu berbeda dengan teori yang lain. Behavioristik merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan  perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang  berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada peserta didik, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan peserta didik terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Adapun akibat adanya interaksi antara stimulus dan respons, siswa mempunyai pengalaman baru, yang menyebabkan mereka mengadakan tingkah laku dengan cara baru.
Teori ini memandang bahwa belajar merupakan mengubah tingkah laku siswa dari tidak  bisa menjadi bisa, dari tidak mengerti menjadi mengerti, sedangkan tugas guru adalah mengontrol stimulus dan lingkungan belajar agar perubahan mendekati tujuan yang diinginkan. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Aplikasi teori behavioristik terhadap pembelajaran siswa
·         Mementingkan faktor lingkungan
·         Menekankan pada faktor bagian (elemenastik)
·         Mengutamakan peranan reaksi
·         Mengutamakan mekanisme terbentuk hasil belajar melalui prosedur stimulus respon
·         Mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya.
·         Mementingkan pembentukan kebiasan melalui latihan dan pengulangan
·         Hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan
Teori belajar sosial kognitif oleh Bandura (1986) mengembangkan dan mendefinisikan teori sosial kognitif yang mengusulkan bahwa orang-orang tidak didorong oleh kekiuatan batin atau secara otomatis dibentuk dan dikendalikan oleh rangsangan eksternal. Sebaliknya, fungsi manusia dijelaskan dalam hal model determinisme timbal balik triadic. Dalam teori belajar sosial menjelaskan perilaku manusia dalam hal interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku, dan pengaruh lingkungan semua beroperasi sebagai penentu berinteraksi satu sama lain. Timbal balik merujuk pada aksi saling sementara determinisme menandakan produksi efek. Karena banyaknya berinteraksi pengaruh dalam tiga serangkai, kondisi yang berbeda dapat menyebabkan atau membantu efek yang berbeda. Orang belajar melalui pengamatan perilaku orang lain, sikap, dan hasil dari perilaku tersebut. “Kebanyakan perilaku manusia dipelajari observasional melalui pemodelan yaitu dari mengamati orang lain. Kemudian hasilnya berfungsi sebagai panduan untuk bertindak.
Faktor-faktor yang berproses dalam dalam belajar observasi:
  • Atensi (perhatian)mencakup peristiwa peniruan (adanya kejelasan, keterlibatan perasaan, tingkat kerumitan, kelaziman, nilai fungsi) dan karakteristik pengamat
  • Retensi (ingatan)mencakup kode pengkodean simbolik, pengorganisasian pkiran, pengulangan simbol, pengulangan motorik.
  • Reproduksimencakup kemampuan fisik, kemampuan meniru, kekuatan umpan balik.
  • Motivasimencakup dorongan dari luar dan penghargaan terhadap diri sendiri.
Bandura percaya pada “determinisme timbal balik”, yaitu lingkungan memang membentuk perilaku dan perilaku membentuk lingkungan, sedangkan behaviorisme dasarnya menyatakan bahwa lingkungan seseorang menyebabkan perilaku seseorang. Teori belajar sosial kadang-kadang disebut jembatan antara behavioris dan teori pembelajaran kognitif karena meliputi perhatian, memori, dan motivasi. Teori ini terkait dengan Social Development Theory and Lave’s Vygotsky dimana  ketika belajar juga menekankan pentingnya pembelajaran sosial





Teori pengolahan informasi mengandung pengertian tentang bagaimana seorang individu mempersepsi, mengorganisasi, dan mengingat sejumlah besar informasi yang diterima individu dari lingkungan.  Menurut Gagne belajar dipandang sebagai proses pengolahan informasi, Gagne adalah seorang psikolog pendidikan terkenal dengan penemuannya berupa condition of learning. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu dalam proses pembelajaran. Teori informasi memberikan persfektif baru pada pengolahan pembelajaran yang akan menghasilkan belajar yang efektif.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase yaitu,
(1) motivasi;
(2) pemahaman;
(3) pemerolehan;
(4) penyimpanan;
(5) ingatan kembali;
(6) generalisasi;
(7) perlakuan;
(8) umpan balik.

Belajar dimulai dari hasil yang paling sederhana( belajar signal) dilanjutkan pada yang lebih kompleks (belajar S-R, rangkaian S-R, asosiasi verbal, diskriminasi dan belajar konsep) sampai pada tipe belajar lebih tinggi (belajar aturan dan pemecahan masalah). Dalam teori pengolahan informasi terdapat persepsi, pengkodean, dan penyimpanan di dalam memori jangka panjang. Teori ini mengajarkan kepada siswa untuk memecahkan masalah. Beberapa model telah dikembangkan di antaranya oleh Gagne (1984), Gage dan Berliner (1988) serta Lefrancois, yang terdiri atas tiga macam ingatan yaitu: sensory memory atau Ingatan Inderawi (II), Ingatan Jangka Pendek (IJPd) atau short-term/working memory, Ingatan Jangka Panjang (IJPj) atau long-term memory.


Teori Pembelajaran Bermakna, Belajar menurut Ausubel merupakan proses mengaitkan informasi atau materi baru dengan konsep-konsep yang telah ada dalam struktur kognitif. Artinya, konstruksi pengetahuan dimulai dengan pengamatan dan pengakuan peristiwa dan objek melalui konsep-konsep yang sudah kita miliki. Ausubel juga menekankan pentingnya penerimaan bukan belajar penemuan, dan bermakna dari pada hafalan. Ausubel percaya bahwa pemahaman konsep, prinsip, dan ide-ide yang dicapai melalui penalaran deduktif. Ausubel dipengaruhi oleh ajaran Jean Piaget. Mirip dengan ide-ide Piaget skema konseptual, Ausubel terkait ini untuk penjelasannya tentang bagaimana orang memperoleh pengetahuan. Teori Ausubel lebih memperhatikan bagaimana individu belajar sejumlah materi pembelajaran secara bermakna dari suatu sajian berbentuk verbal/teks di sekolah (berbeda dengan teori-tori yang dikembangkan dalam konteks percobaan-percobaan yang dilaksanakan di laboratorium).  Menurut Ausebel, belajar dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) dimensi. Dimensi pertama, berhubungan dengan cara bagaimana informasi/materi pembelajaran tersebut disajikan kepada siswa melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur  kognitifnya  (berupa fakta-fakta,  konsep-konsep,  dan  generalisasi-generalisasi yang telah dipelajari dan diingat siswa) yang telah ada. Kedua dimensi tersebut, yaitu penerimaan/penemuan dan hafalan/bermakna, tidak menunjukkan dikotomi sederhana, melainkan merupakan suatu kontinuum.
Inti  dari  teori  Ausubel  tentang  belajar  adalah  belajar  bermakna.  Menurut  Ausebel, belajar bermakna akan terjadi bila si pembelajar dapat mengaitkan informasi yang baru diperolehnya dengan konsep-konsep (dikenal sebagai subsumer-subsumer) relevan yang terdapat dalam struktur kognitif si pembelajar tersebut. Akan tetapi, bila si pembelajar hanya mencoba menghafalkan informasi baru tadi tanpa menghubungkan dengan konsep- konsep yang telah ada dalam struktur kognitifnya tersebut, kondisi ini dikatakan sebagai belajar hafalan. Seperti kita tahu bahwa informasi disimpan di daerah-daerah tertentu dalam otak. Dengan berlangsungnya belajar akan dihasilkan perubahan-perubahan dalam sel-sel otak terutama sel-sel yang telah menyimpan informasi yang mirip dengan informasi yang sedang dipelajari. Dalam belajar bermakna, informasi baru diasimilasikan pada subsumer- subsumer relevan yang yang telah ada dalam struktur kognitif. Proses interaktif antara informasi yang baru dipelajari dengan subsumer-subsumer yang telah ada tersebut dikenal sebagai proses subsumsi. Belajar bermakna yang baru mengakibatkan pertumbuhan dan modifikasi sub sumer-subsumer yang telah ada tersebut.
Informasi  yang  dipelajari  secara  bermakna,  biasanya  lebih  lama  diingat  daripada informasi  yang dipelajari secara hafalan.  Tetapi, ada kalanya unsur-unsur yang telah tersubsumsi  tidak  dapat  dikeluarkan  lagi  dari  memori  (lupa),  hal  ini  terjadi  karena beberapa bagian subsumer berintegrasi dengan yang lain sehingga mereka kehilangan identitas individunya. Dapat juga, karena subsumer tersebut telah kembali pada keadaan sebelum terjadi subsumsi.   Kondisi seperti ini menurut Ausebel disebut subsumsi obliteratif (subsumsi yang telah rusak). Teori Ausubel di atas, nampaknya memiliki kesamaan-kesamaan (commonalities) dengan teori Gestalt dan keduanya melibatkan suatu   skema   sebagai suatu prinsip yang sentral. Juga   teori   Ausebel   ini   memiliki   kesamaan   dengan   model   belajar   spiral   yang dikemukakan oleh  Bruner.  Selanjutnya, walupun Ausebel menekankan bahwa subsumsi melibatkan  reorganisasi  dari  struktur  kognitif  yang  ada  tapi  tidak  mengembangkan struktur yang baru seperti yang disarankan para ahli konstruktivisme. Ausubel kelihatan dipengaruhi juga oleh hasil kerja dari  Piaget untuk perkembangan kognitif. Walaupun Ausebel sangat menekankan agar para guru diharapkan mengetahui konsep- konsep yang telah dimiliki para siswanya agar belajar bermakna dapat berlangsung, tetapi Ausebel  belum  dapat  menyediakan  alat  untuk  mengukur  hal  tersebut.  


















Pendekatan Perkembangan Kognitif. Pendekatan  ini  di  dasarkan  pada  asumsi  atau  keyakinan  bahwa  kemampuan kognitif merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Kunci untuk memahami tingkah laku anak terletak pada pemahaman bagaimana pengetahuan  tersebut  terstruktur  dalam  berbagai  aspeknya. Piaget berpendapat bahwa perkembangan manusia dapat di gambarkan dalam konsep fungsi dan struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama bagi setiap orang atau kecendrungan-kecendrungan biologis untuk mengorganisasi pengetahuan   kedalam  struktur   kognisi,  dan  untuk  beradaptasi   kepada  berbagai tantangan lingkungan. Tujuan dari fugsi-fungsi itu adalah menyusun struktur kognitif internal.  Sementara  struktur  merupakan  intereasi  (saling berkaitan)  system pengetahuan  yang  mendasari  dan  membimbing  tingkah  laku  inteligen.  Struktur kognitif diistilahkan dengan konsep skema, yakitu seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang denganya anak memahami lingkungan. Piaget mengajarkan bahwa perkembangan kognitif merupakan hasil gabungan dari kedewasaan otak dan sistem saraf, serta adaptasi dengan lingkungan. Ia menggunakan lima istilah untuk menggambarkan dinamika perkembangan kognitif.
1.      Skema menunjukkan struktur mental, pola pikir yang orang untuk mengatasi situasi tertentu di lingkungan.
2.      Adaptasi merupakan proses penyesuaian pemikiran dengan memasukkan informasi baru ke dalam pemikiran individu.
3.      Asimilasi berarti memperoleh informasi baru dan memasukkan kedalam skema sekarang dalam respon  terhadap stimulus  lingkungan baru.
4.      Akomodasi merupakan penyesuaian pada informasi baru dengan menciptakan skema yang baru ketika skema lama tidak berhasil.
5.      Equilibration didefinisikan sebagai kompetensi untuk gangguan eksternal. Perkembangan intelektual menjadi kemajuan yang terus bergerak secara berkesinambungan yang lebih tinggi.








Tabel 1
Tahapan Perkembangan Kognitif Menurut Piaget

PERIODE
USIA
DESKRIPSI PERKEMBANGAN
1.   Sensorimotor
0-2 tahun
Pemgetahuan   anak  diperoeh   melalui  interaksi

fisik,  baik  dengan  orang  atau  objek.  Skema- skema baru berbentuk reflek-reflek sederhana, seperti: menggenggam atau menghisap.
2.   Praoperasional
2-7 tahun
Anak mulai menggunakan symbol-simbol untuk

merepresentasdunia (lingkungan) secara kognitif. Symbol-simbol itu seperti: kata-kata dan bilangan yang dapat menggantikan objek, peristiwa dan kegiatan (tingkah laku yang tampak).
3.   Operasi konkret
7-11 tahun
Anak  sudah  dapat  membentuk  operasi-operasi

mental atas pengetahuan yang mereka miliki. Mereka dapat menambah, mengurangi dan mengubah. Operasi ini memungkinkannya untuk dapat memecahkan masalah secara logis.
4.   Operasi Formal
11        tahun

sampai dewasa
Periode  ini  merupakan  operasi  mental  tingkat

tinggi. Disini anak (remaja) sudah dapat berhubungan    dengan    peristiwa-peristiwa hipotesis atau abstrak, todak hanya dengan objek- objek   konkrit.   Remaja   sudah   dapat   berfikir abstrak  dan  memecahkan  maslaah  melaui pengujian semua alternative yang ada.










Teori Pembentukan Sosial Vygotsky menekankan bagaimana proses-proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran melibatkan pembelajaran menggunakan temuan-temuan masyarakat. Penekanan pada pembelajaran perkembangan ini adalah kolaborasi, yang mengarah ke zona Vygotsky perkembangan proksimal (ZPD). Vygotsky memandang ZPD sebagai kesenjangan antara mana pelajar saat ini tinggal dan potensi peserta didik untuk pembangunan. Definisi terkenal Vygotsky zona pembangunan proksimal menyatakan bahwa ZPD adalah "jarak antara tingkat perkembangan aktual seperti yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat perkembangan potensial yang ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa dan anak-anak lain dalam memudahkan perkembangan si anak. Menurut Vygotsky, anak-anak lahir dengan fungsi mental yang relatif dasar seperti kemampuan untuk memahami dunia luar dan memusatkan perhatian. Namun, anak-anak tak banyak memiliki fungsi mental yang lebih tinggi seperti ingatan, berfikir dan menyelesaikan masalah. Fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi ini dianggap sebagai ”alat kebudayaan” tempat individu hidup dan  alat-alat itu berasal dari budaya.
Menurut vygotsky (1962), keterampilan-keterampilan dalam keberfungsian mental berkembang melalui interaksi sosial langsung. Informasi tentang alat-alat, keterampilan-keterampilan dan hubungan-hubungan interpersonal kognitif dipancarkan melalui interaksi langsung dengan manusia. Melalui pengorganisasian pengalaman-pengalaman interaksi sosial yang berada di dalam suatu latar belakang kebudayaan ini, perkembangan mental anak-anak menjadi matang. Meskipun pada akhirnya anak-anak akan mempelajari sendiri beberapa konsep melalui pengalaman sehari-hari, Vygotsky percaya bahwa anak akan jauh lebih berkembang jika berinteraksi dengan orang lain. Anak-anak tidak akan pernah mengembangkan pemikiran operasional formal tanpa bantuan orang lain.
Vygotsky mencari pengertian bagaimana anak-anak berkembang dengan melalui proses belajar, dimana fungsi-fungsi kognitif belum matang, tetapi masih dalam proses pematangan. Vygotsky membedakan antara aktual development dan potensial development pada anak. Actual development ditentukan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan orang dewasa atau guru. Sedangkan potensial development membedakan apakah seorang anak dapat melakukan sesuatu, memecahkan masalah di bawah petunjuk orang dewasa atau kerjasama dengan teman sebaya.
1.      Konsep Zona Perkembangan Proksimal (ZPD)
Zona Perkembangan Proksimal adalah istilah Vygotsky untuk rangkaian tugas yang terlalu sulit dikuasai anak seorang diri tetapi dapat diipelajari dengan bantuan dan bimbingan orang dewasa atau anak-anak yang terlatih. Batas bawah dari ZPD adalah tingkat keahlian yang dimiliki anak yang bekerja secara mandiri. Batas atas adalah tingkat tanggung jawab tambahan yang dapat diterima oleh anak dengan bantuan seorang instruktur. Maksud dari ZPD adalah menitikberatkan ZPD pada interaksi sosial akan dapat memudahkan perkembangan anak.
2.      Konsep Scaffolding
Scaffolding diartikan sebagai kerangka pengetahuan yang disiapkan saat masa kematangan tiba. Scaffolding adalah istilah terkait perkembangan kognitif yang digunakan Vygotsky untuk mendeskripsikan perubahan dukungan selama sesi pembelajaran, dimana orang yang lebih terampil mengubah bimbingan sesuai tingkat kemampuan anak. Dialog adalah alat yang penting dalam ZPD. Vygotsky memandang anak-anak kaya konsep tetapi tidak sistematis, acak, dan spontan. Dalam dialog, konsep-konsep tersebut dapat dipertemukan dengan bimbingan yang sistematis, logis dan rasional.
3.      Bahasa dan Pemikiran
Menurut Vygotsky, anak menggunakan pembicaraan bukan saja untuk komunikasi sosial, tetapi juga untuk membantu mereka menyelesaikan tugas. Lebih jauh Vygotsky yakin bahwa anak pada usia dini menggunakan bahasa unuk merencanakan, membimbing, dan memonitor perilaku mereka. Vygotsky mengatakan bahwa bahasa dan pikiran pada awalnya berkembang terpisah dan kemudian menyatu. Anak harus menggunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan orang lain sebelum mereka dapat memfokuskan ke dalam pikiran-pikiran mereka sendiri. Anak juga harus berkomunikasi secara eksternal dan menggunakan bahasa untuk jangka waktu yang lama sebelum mereka membuat transisi dari kemampuan bicara ekternal menjadi internal.
Pada dasarnya teori-teori Vygotsky didasarkan pada tiga ide utama: (1) bahwa intelektual berkembang pada saat individu menghadapi ide-ide baru dan sulit mengaitkan ide-ide tersebut dengan apa yang mereka telah ketahui; (2) bahwa interaksi dengan orang lain memperkaya perkembangan intelektual; (3) peran utama guru adalah bertindak sebagai seorang pembantu dan mediator pembelajaran siswa.





Belajar Penemuan (Discovey Learning) Salah satu model intruksional kognitif yang sangat berpengaruh ialah model dari Jerome Bruner yang dikenal dengan nama belajar penemuan. Dasar dari teori Bruner adalah ungkapan Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif saat belajar di kelas. Konsepnya adalah belajar dengan menemukan discovery learning. Bruner menganggap bahwa  belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia dengan sendirinya memberikan hasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang benar-  benar bermakna. Bruner menyarankan agar siswa hendaknya belajar melalui partisipasi secara aktif dengan konsep dan prisnsip- prinsip agar memperoleh pengalaman dan melakukan eksperimen yang mengiinkan mereka untuk menemukan prinsip- prinsip itu sendiri. Pembelajaran penemuan terjadi dalam memecahkan situasi masalah di mana pelajar mengacu pada pengalamannya sendiri dan pengetahuan sebelumnya dan merupakan metode pengajaran di mana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan mengeksplorasi dan memanipulasi benda, bergulat dengan pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan.
 Dalam implikasinya pada proses pembelajaran, Siswa mengorganisasikan bahan pelajaran yang dipelajarinya dengan suatu  bentuk akhir yang sesuai dengan tingkat kemajuan berpikir anak Siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Siswa belajar melalui aktif dengan kosep- konsep dan prinsip- prinsip.Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif  jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh-contoh yang menggambarkan aturan yang menjadi sumbernya. Siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Lawan dari pendekatan ini disebut “belajar ekspositori” (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini siswa diberi informasi umum untuk diminta menjelaskan informasi tersebut melalui contoh- contoh khusus dan konkret.
Pengetahuan yang diperoleh dengan belajar penemuan menunjukkan  beberapa kebaikan. Pertama, pengetahuan itu bertahan lama atau lama diingat bila dibandingkan dengan pengetahuan yang dipelajari dengan cara- cara lain. Kedua, hasil belajar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik daripada hasil belajar lainnya. Dengan kata lain, konsep- konsep dan prinsip- prinsip yang dijadikan milik kognitif seorang lebih mudah diterapkan pada situasi yang baru. Ketiga, secara menyeluruh  belajar penemuan meningktkan penalaran siswa dan kemampuan untuk  berpikir secara bebas. Secara khusus belajar penemuan melatih ketrampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah masalah tanpa pertolongan orang lain. Belajar penemuan juga dapat membangkitkan keingin tahuan siswa, memberi motivasi untuk bekerja terus sampai menemukan jawaban- jawaban lagi, mengajarkan ketrampilan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain dan meminta para siswa untuk menganalisis dan memanipulasi informasi, tidak hanya menerima saja. Pada dasarnya belajar penemuan sarat akan makna, dengan belajar  penemuan mendorong siswa untuk aktif dan memberikan moivasi dalam belajar sehingga melatih kemampuan kognitifnya untuk memecahkan suatu permasalahan.
Tahap Perkembangan Intelektual dalam Proses Belajar
Menurut Bruner seiring dengan pertumbuhan kognitif, para pembelajar harus melalui tiga tahap intelektual, meliputi Tahap Enaktif, Ikonik dan Simbolik
1.      Enaktif, seseorang belajar tentang dunia melalui respon atau aksi- aksi terhadap suatu objek. Dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan ketrampilan dan pengetahuan motorik seperti meraba, memegang, mencengkram, menyentuh, mengggit dan sebagainya. Anak- anak harus diberi kesempatan bermain dengan berbagai  bahan/alat pembelajaran tertentu agar dapat memahami begaimana  bahan/alat itu bekerja.
2.      Ikonik, pembelajaran terjadi melalui penggunaan model- model dan visualisasi verbal. Anak- anak mencoba memahami dunia sekitarnya melalui bentuk- bentuk perbandingan (komparasi) dan perumpamaan, dan tidak lagi memerlukan manipulasi objek-objek pembelajaran secara langsung.
3.      Simbolik, siswa sudah mampu menggabarkan kapasitas berpikir dalam istilah- istilah yang abstrak. Dalam memahami dunia sekitarnya anak- anak belajar melalui simbol- simbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya. Huruf dan lambing bilangan merupakan contoh sistem simbol. Fase simbolik merupakan tahap final dalam pembelajaran.










Pendekatan Konstruktivisme adalah pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan menciptakan sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Konstruktivisme menyatakan bahwa pengetahuan akan tersusun dan terbangun dalam pikiran siswa sendiri ketika ia berusaha mengorganisasikan pengalaman barunya berdasarkan pada kerangka kognitif yang sudah ada pada pikirannya. Dengan demikian pengetahuan tidak dapat dipindahkan degan begitu saja dari otak seseorang guru keotak siswanya. Setiap sisiwa harus membangun pengetahuan didalam otaknya sediri-sendiri. Ketika individu mengasimilasi, mereka menggabungkan pengalaman baru ke dalam kerangka yang sudah ada tanpa mengubah kerangka itu. Hal ini dapat terjadi ketika pengalaman individu selaras dengan representasi internal mereka dari dunia, tetapi juga dapat terjadi sebagai kegagalan untuk mengubah pemahaman yang salah; misalnya, mereka mungkin tidak melihat kejadian, mungkin salah paham masukan dari orang lain, atau dapat memutuskan bahwa acara adalah kebetulan dan karena itu penting sebagai informasi tentang dunia. Sebaliknya, ketika pengalaman individu bertentangan representasi internal mereka, mereka dapat mengubah persepsi mereka tentang pengalaman agar sesuai representasi internal mereka.
Pendekatan konstruktivisme adalah suatu pendekatan dalam proses dalam pembelajaran dimana siswa aktif dalam mencari pengetahuannya. Pendekatan konstruktivisme secara radikal berbeda dengan pendekatan tradisional dimana guru adalah seseorang yang selalu mengikuti jawabanya. Didalam kelas kostruktivisme para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada pada diri mereka. Mereka berbagi strategi, dan penyelesaiannya dengan debat antara satu dengan yang lainnya, berfikir secara kritis tenteng cara terbaik untuk menyelesaikan  suatu masalah.
Beberapa konsep umum pada pendekatan konstruktivisme, diataranya:
1.      Pelajar aktif membina pengetahuan berdasarkan pengalaman yang sudah ada.
2.      Dalam satu konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.      Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai kaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.
4.      Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran baru.
5.      Ketidak seimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama.
6.      Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada.
Dengan berdasarkan kepada paham konstruktivisme-nya Piaget, Kamii (1989,1994) telah mendemonstrasikan bagaimana siswa-siswa sekolah dasar dapat menemukan prosedur sendiri dalam memecahkan soal-soal multidigit dalam bilangan cacah. Jadi dari penemuan ini berarti bahwa ketika para siswa tidak diajari algoritma seperti membawa dan meminjam pengetahuan mereka tentang bilangan dan nilai tempat jauh lebih unggul daripada siswa yang diajari atoran algoritma tersebut.
Didalam kelas guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru tidak lansung membenarkan atau menyalahkan jawaban siswa tersebut, tapi ia mendorong siswa untuk saling bertukar pikiran atau ide sampai persetujuan tercapai.
Adapun ciri-ciri pendekatan konstruktivisme diantaranya adalah:
a.       Dengan adanya pendekatan konstruktivisme, pengembangan pengetahuan bagi peserta didik dapat dilakukan oleh siswa itu sendiri melalui kegiatan penelitian atau pengamatan lansung sehingga siswa dapat menyalurkan ide-ide baru sesuai denga pengalaman dengan menemukan fakta yang sesuai dengan kajian teori.
b.      Antara pengetahuan-pengetahuan yang ada, harus ada keterkaitan dengan pengalaman yang ada pada diri siswa.
c.       Setiap siswa mempunyai peranan penting dalam menentukan apa yang mereka pelajari.
d.      Peranan guru hanya sebagai pembimbing dengan menyediakan materi atau konsep apa yang akan dipelajari serta memberikan peluang kepada siswa untuk menalisis sesuai dengan materi yang dipelajari.









Pendekatan Sosial, Pendekatan sosial emosional dalam pembelajaran adalah suasana perasaan dan suasana sosial ( social-emostionalclimate approach ) di dalam kelas sebagai sekelompok individu cenderung pada pandangan Psikologi Klinis dan konseling  (penyuluhan). Menurut pendapat ini pendekatan sosial emosional terciptanya iklim atau suasana pembelajaran yang harmonis dan hubungan sosial yang positif. Suasana emosional dan hubungan sosial yang positif artinya ada hubungan yang baik yang positif antara guru dengan anak didik, atau antara anak didik dengan anak didik. Disini guru adalah kunci terhadap pembentukan hubungan pribadi itu, dan perananya adalah menciptakan hubungan pribadi yang sehat.
Iklim sosial emosional yang baik adalah dalam arti terdapat hubungan interpersonal yang harmonis antara guru dengan guru, guru dengan siswa dan siswa dengan siswa, merupakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar mengajar yang efektif. Asumsi ini mengharuskan seorang guru berusaha menyusun program kelas dan pelaksanaannya yang didasari oleh hubungan manusiawi yang diwarnai sikap saling menghargai dan saling menghormati antar personal di kelas. Setiap personal dibebri kesempatan masing-masing sehingga timbul suasana sosial emosional yang menyenangkan pada setiap personal dalam melaksanakan tugasnya masing-masing.
Iklim sosial emosional yang baik tergantung pada guru dalam usahanya melaksanakan kegiatan belajar mengajar, yang disadari dengan hubungan manusiawi yang efektif. Dari asumsi ini berarti dalam pendekatan sosial emosionla seorang guru harus berusaha mendorong siswa agar mampu dan bersedia mewujudkan hubungan manusiawi yang penuh saling pengertian, hormat menghormati dan saling menghargai. Guru harus mendorong menjadi pelaksana yang berisisiatif dan kraetif serta elalu terbuka pada kritik. Disamping itu bertari juga guru harus mampu dan bersedia mendengarkan pendapat, sasaran, gagasan dan lain-lain dari siswa sehingga terjadi susana pembelajaran yang dinamis.
Pendekatan sistim sosial emosional  didasari atas asumsi bahwa kegiatan pembelajaran yang efektif dan efisien mempersyaratkan hubungan sosial – emosional yang baik antara guru-siswa, dan antara siswa-siswa. Asumsi ini menghendaki agar guru dapat melaksanakan program kelas didasari atas hubungan manusiawi yang diwarnai sikap saling harga menghargai dan saling menghormati antar personal kelas.
Untuk menciptakan hubungan baik dengan siswa, guru perlu menerapkan sikap-sikap yang efektif, meliputi : (1) terbuka, (2) menerima  dan menghargai siswa, (3) empati, dan (4) demokratis. Orstetin dan Levin (1984: 86) mengidentifikasi karakteristik guru yang efektif dalam pengelolaan kelas, yang meliputi: mendorong dan memelihara minat siswa terhapat tujuan pembelajaran, serta mempertahankan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar dengan menggunakan keterampilan mengajar.
Jacobsen ( 1989: 37 ) menjelaskan bahwa sikap guru yang demokratis dapat mengembangkan sikap positif pada diri siswa, memiliki perasaan senang dan nyaman, serta mempunyai pengalaman belajar yang lebih baik dibanding dengan guru yang berikap keras atau tidak acuh.
Berdasarkan uraian diatas, maka sikap yang ditampilkan dalam menumbuhkan kemauan dan kemampuan bertanya siswa adalah : (1) sikap terbuka, (2) menerima dan menghargai siswa, (3). Empati, dan (4) demokrasi.
Pendekatan iklim sosial – emosisonal merupakan pendekatan yang ditawarkan dalam menumbuhkan kemauan dan kemampuan bertanya siswa.  Pendekata ini dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa mengajukan pertanyaan tertulis, kesempatan membacakan pertanyaan yang diajukan, kompetisi kelompok, melatih mengajukan pertanyaan tingkat rendah/ tinggi, yang didukung oleh suasana kelas yang aman, saling menghargai, dan hormat menghormati antara personal kelas. Untuk menciptalan susana pembelajaran yang dapat memungkinkan siswa merasa aman dalam belajar yaitu dengan cara menciptakan iklim kelas yang tepat melalui pengelolaan kelas. Pengelolaan kelas merupkan salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru.
















Sumber :
Rita Eka Izzaty, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakata: UNY Press
Sugiharono, dkk. 2007. Psikologi pendidikan. Yogyakarta. UNY Press


Tidak ada komentar:

Posting Komentar