Selasa, 31 Maret 2015

Refleksi Tayangan Video Pembelajaran Matematika SD Di Jepang Menanamkan Konsep Perkalian.



Refleksi
Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar (Rabu, 25 Maret 2015)
Dosen Pengampu Prof. Dr. Marsigit, M. A.

Refleksi singkat hasil tayangan video Pembelajaran Matematika di Jepang melalui  VTR (Voice Tape Recorder) pada mata kuliah Pengembangan Learning Trajectory Pendidikan Dasar hari Rabu, 25 Maret 2015. Prof. Marsigit meminta kami untuk menuliskan tanggapan video tersebut, meliputi: Tanggapan PBM berdasarkan pengalaman dan pengetahuan saya, Pertanyaan yang muncul dari pikiran saya, Identifikasi pembelajaran, Dengan mengambil sisi baikdari PBM tersebut, berikut adalah usaha saya untuk mengembangkan PBM sejenis sesuai dengan konteks budaya lohal saya (Jawa-Indonesia). Dari hasil tayangan video tersebut dengan segala keterbatasannya mencoba merefleksikan apa yang saya lihat dalam tayangan video pembelajaran matematika SD di Jepang. pembelajaran yang dilakukan secara tim (kolaborasi) materi yang disampaikan berkenaan dengan konsep perkalian. Guru hanya menjelaskan konsep-konsep dasar materinya dengan menampilkan tabel perkalian kemudian siswa diminta untuk mengembangkan sendiri konsep dasar tersebut melalui kegiatan diskusi, saya melihat dengan tabel perkalian siswa menemukan konsep FPB, kelipatan, sifat pertukaran, perkalian istimewa 9 dll. Siswa menemukan jawabannya sendiri sehingga mudah bagi siswa untuk menguasai, menyimpan apa yang mereka dapatkan sendiri dan mudah dalam mengingatnya karena mereka membangun konsep itu sendiri. Kegiatan diskusi dalam kelas tersebut dikembangkan dengan memperhatikan kebutuhan siswa. Prinsip demokrasi diterapkan dalam metode ini. Pembelajaran dilakukan oleh siswa, dari siswa, dan untuk siswa. Siswa bebas mengekspresikan pemikiran mereka tentang materi yang sedang dipelajari. Rasa ingin tahu dan minat belajar siswa sangat tinggi terbukti dengan keaktifan mereka ketika dalam pembelajaran di kelas. Ketika ada siswa yang menyampaikan hasil diskusinya di depan kelas maka siswa yang lain beserta guru menanggapinya dan jika pendapatnya berbeda dengan temannya, siswa berani untuk menyampaikan pendapatnya di depan teman-temannya, sehingga terjalin komunikasi dan kerjasama yang baik dari semua pihak baik guru dengan guru, siswa dengan siswa maupun guru dengan siswa. Ketika siswa menyampaikan jawaban yang kurang tepat guru tidak menyalahkannya akan tetapi menuntun dan membimbing mereka untuk menemukan kembali jawaban yang lebih tepat. Siswa SD sudah mampu mengutarakan pendapatnya dan mempertanggungjawabkan pendapatnya. Siswa berani mempresentasikan hasil diskusinya, menyampaikan ide/gagasan dan pendapat mereka di depan kelas tanpa rasa takut karena mereka sudah dilatih untuk percaya diri, mengembangkan rasa percaya dirinya tersebut, dan dilatih pula mengembangkan kepekaan intuisi mereka. Semua siswa aktif menunjukkan partisipasinya. Siswa juga aktif bertanya, berkomentar, atau pun menanggapi apa yang dipresentasikan teman mereka.
usaha saya untuk mengembangkan PBM sejenis sesuai dengan konteks budaya lohal saya (Jawa-Indonesia) Permain pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari anak-anak, karena disampingmemenuhi kebutuhan akan bermain dapat juga menambah atau memperkaya pengalaman anak. Dengan keinginan anak bermain, orang tua atau pendidik dapat memanfaatkannya untuk menanamkan pengertian akan pelajaran misalnya belajar matematika. Dengan memanfaatkan situasi anak bermain sambil belajar matematika, maka kelak diharapkan :
  • Anak / peserta didik senang dalam mengerjakan suatu bahan pelajaran matematika. 
  • Anak / peserta didik terdorong dan menaruh minat untuk mempelajari matematikasecara sukarela.
  •  Adanya suatu semangat bertanding dalam suatu permainan dan berusaha untukmenjadi pemenang dan dapat mendorong anak / peserta didik untuk memusatkanperhatian pada permainan yang dihadapinya. 
  • Ketegangan-ketegangan dalam pikiran anak / peserta didik setelah belajarmatematika dapat berkurang. 
  • Anak / peserta didik dapat memanfaatkan waktu yang terluang.
·         Agar mereka tidak dibebani dengan konsep matematika yang akan diberikan pada anak /peserta didik maka orang tua maupun pendidik harus harus turut serta atau ikut berkecimpungdalam permainan tersebutsalah satunya permaianan congklak atau dakon.
Proses pembelajaran merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses pembelajaran banyak berakar pada berbagai pandangan dan konsep serta perwujudan proses itu sendiri dapat terjadi dalam berbagai model. Maka dari itu untuk menunjang proses pembelajaran yang efektif dan efisien diperlukan media atau alat peraga agar siswa dapat memahami materi pelajaran yang diberikan oleh guru. Mengingat begitu pentingnya alat peraga pada proses belajar, maka guru berperan penting dalam memanfaatkan media dan sumber belajar tersebut. Media atau alat peraga yang akan dibahas pada kesempatan kali ini adalah Permainan Congklak atau Dakon sebagai media pembelajaran matematika untuk anak.
Permainan dalam pembelajaran matematika disekolah bukan untuk menerangkan melainkan suatu cara atau tehnik untuk mempelajari atau membina ketrampilan dari suatu materi tertentu. Secara umum cocok untuk membantu mempelajari fakta dan ketrampilan. Beberapa pakar pendidikan mengatakan bahwa tujuan utama digunakan permainan dalam pembelajaran matematika adalah untuk memberikan motivasi kepada siswa agar menjadi senang. Apabila guru berniat merencanakan kegiatan permainan matematika dalam pembelajaran, maka guru perlu mengkaji  topik yang tepat untuk kegiatan yang didukung oleh permainan. Dari hasil kajian tersebut guru dapat memilih atau mengidentifikasi permainan yang bertujuan meningkatkan keterampilan matematika dan digunakan dalam waktu serta situasi yang tepat.
Alat peraga permainan congklak dapat digunakan siswa untuk memahami operasi hitung seperti penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. Misalnya permainan congklak kita gunakan sebagai alat peraga untuk menjelaskan konsep perkalian (x) dan pembagian (:). Konsep pemahaman perkalian dan pembagian dasar mulai diajarkan di kelas tematik Sekolah Dasar. Saya masih ingat betul ketika pada masa SD dulu, biasanya para siswa diminta untuk menghafalkan perkalian, mulai dari perkalian 1 hingga perkalian 10. Dimana sebelumnya guru telah memberikan tabel perkalian dan pembagian pada siswa. Hal ini dilakukan untuk mempersingkat dan mempercepat pembelajaran tanpa susah payah. Begitu juga dengan pembagian, guru hanya memberitahukan bahwa pembagian adalah kebalikan dari perkalian atau sebaliknya.
Konsep Perkalian (x) adalah penjumlahan berulang-ulang, artinya suatu bilangan bila dijumlahkan dengan bilangan itu sendiri secara berulang-ulang maka akan menghasilkan operasi hitung baru yang berupa perkalian, contoh: 2+2+2+2+2=10, artinya angka 2 dijumlahkan dengan bilangan itu sendiri sebanyak lima kali maka hasilnya 10, maka bilangan perkaliannya adalah : 5×2=10, sehingga : 2+2+2+2+2=5×2, hasilnya 10.
Konsep Pembagian (:) adalah kebalikan dari perkalian, tetapi pada penyampaian kepada siswa tidak bisa disampaikan langsung bahwa pembagian adalah kebalikan perkalian, tetapi harus memahami dulu bagaimana pembagian itu bisa terjadi. Pembagian adalah pengurangan suatu bilangan dengan bilangan lain secara berulang-ulang hingga habis. Contoh : 10–2–2–2–2–2=0, artinya bilangan 10 dikurangi 2 sebanyak 5 kali, maka bilangan matematikanya adalah 10:2=5 (sepuluh dibagi dua sama dengan lima). Jika kita balik dengan perkalian 5×2=10 (lima kali dua sama dengan sepuluh). Nah, disinilah maka konsep perkalian dan pembagian dapat sedikit dimengerti oleh siswa.
Kenapa saya mengatakan sedikit dimengerti, karena dengan konsep teori diatas tanpa dipraktekan dengan hal yang konkrit maka siswa akan menemui kesulitan, apalagi bila sudah mencakup bilangan lebih dari 10. Akan tetapi, dengan alat permainan congklak atau dakon minimal siswa bukan hanya mengerti dan hafal saja tetapi lebih dari itu siswa akan bisa dan lebih ingat. Pada prinsipnya, mendengar saja tidak cukup, karena pasti akan mudah lupa, begitu juga jika hanya melihat dan mendengar, siswa hanya hafal tapi belum tentu bisa mengerjakan, akan tetapi jika siswa melihat, mendengar dan mengerjakan maka besar kemungkinan siswa akan bisa dan lebih ingat.
Contoh lain dari permainan congklak sebagai media pembelajaran matematika, misalnya Anda dapat mengajarkan anak belajar berhitung dengan mengajak buah hati Anda bermain congklak. Pada papan congklak terdapat 14 lobang  terdiri dari 7 lobang dihadapan Anda dan 7 lobang dihadapan anak Anda. Jika menggunakan 7 lobang pasang, maka tiap lobang diisi dengan 7 biji congklak. Jadi jumlah biji congklak yang digunakan adalah jumlah lobang pasangan kali dua kali jumlah masing-masing biji congklak (contoh: 7x2x7=98 biji congklak). Hal ini dapat Anda praktekan pada saat bermain dakon bersama anak Anda. Misalnya begini... Nak ayo kita isi lobangnya, ada tujuh lobang, 1,2,3,4,5,6,7. Coba hitung nak, ada berapa jumlah semuanya? (7+7=14). Ada 2 lobang masing-masing ada 7 biji congklak, jadi semuanya ada berapa? (2x7=14). Oya nak, kamu punya 14 biji, kita bagi 7 yuk! Jadi cukup untuk berapa lobang nak? Oh… untuk 2 lobang pak (14:7=2).
Dengan adanya permainan congklak, anak-anak akan medapatkan lebih manfaatnya. Selain sebagai alat peraga pembelajaran matematika, permainan congklak secara tidak langsung menyumbang kegiatan jasmani adaptif anak, yaitu melatih motorik halus. Ketika anak memindahkan biji congklak dari satu lobang ke lobang lain, maka mereka melatih motorik halus mereka.Apapun strategi pembelajaran matematika dalam bentuk permainan guru perlu mengidentifikasi  topik-topik yang memerlukan pembinaan ketrampilan khusus, misalnya fakta dasar penjumlahan atau perkalian, menentukan tujuan pembelajaran secara jelas, merencanakan kegiatan secara rinci seperti bentuk permainan, sarana, dan evaluasi.

Kesimpulan
            Media pembelajaran menggunakan permainan dakon merupakan salah satu strategi kunci untuk meningkatkan kualitas berhitung anak-anak Indonesia, khususnya untuk pada anak tunagrahita yang selama ini mengalami kesulitan dalam berhitung. Akan tetapi hal ini juga harus di dukung dengan adanya seorang guru yang harus kreatif dalam membuat dan menyediakan media yang sesuai dengan pembelajaran di kelas.
            Media pembelajaran menggunakan permainan dakon disamping sangat membantu proses belajar anak tunagrahita dalam meningkatkan keterampilan berhitung, juga secara ekonomi media pembelajaran ini sangatlah murah dan terjangkau. Selain itu manfaatnya pun cukup besar dalam membantu belajar anak tunagrahita dalam proses pembelajaran matematika khususnya dalam melatih berhitung seorang anak.
Saran
Untuk guru: (1) Sebaiknya guru mengetahui terlebih dahulu anak tunagrahita yang diajar termasuk dalam tahap belajar apa, sehingga dengan begitu akan mudah bagi guru memberikan pembelajaran dan teknik yang sesuai dengan perkembangan belajar anak. (2) Guru harus menggunakan media untuk mendukung pembelajaran, karena perkembangan anak tunagrahita yang sulit untuk membayangkan dan memikirkan hal-hal yang abstrak sehingga dengan adanya media akan membantu mereka untuk berilustrasi. (3) Salah satu media yang dapat digunakan ketika matapelajaran matematika adalah congklak (dakon), permainan tradisional ini juga tidak hanya mampu digunakan untuk pelajaran berhitung saja namun sebagai upaya untuk melestarikan permainan tradisional asli Indonesia yang sudah hampir dilupakan.

Sumber
http://permainandakon.blogspot.com/Diaksespadatanggal 30 Maret 2015.

Marsigit.(2015). ReferensiBerbagaiTeoriBelajardanMengajar.http://powermathematics.blogspot.com/2015/03/referensi-berbagai-teori-belajar-dan.html. Diaksespadatanggal 30 Maret 2015.